KKN Desa Penari
Sesaat sebelum ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati, karena di balik sirat wajah wanita yang disangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk.
Apa yang diucapkan si bapak memang tidak dapat dipercaya, namun Pak Prabu tidak punya bukti lebih jauh, maka Pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak pun pergi.
Namun, Pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri.
"Onok sing nyoba ngbari sampeyan mbak (ada yang mencoba memberi pesan sama kamu mbak)."
"Sinten Pak (siapa Pak)?"
Baca Juga: Resep Dendeng Ragi
"Mbah-mbah sing nunggu nang watu item (kakek-kakek penjaga batu kali itu)."
Setelah kejadian itu, Widya diminta ke rumah Pak Prabu bila masih sakit. Namun, ada kejadian lagi yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur.
Waktu itu siang hari, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari. Wahyu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa. Sementara karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus dibeli di kota.
"Melu mboten (ikut gak)?"
"Adoh gak (jauh gak)?"
Baca Juga: Resep Ikan bakar Manokwari
"2 jam," kata Wahyu.
"Aku wes ijin Pak Prabu, oleh nyilih motor'e (aku sudah ijin Pak Prabu, boleh pinjem motornya)."
"Nggih pon, melu (ya sudah, ikut)."
Wahyu melihat jam di tangannya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusannya di kota. Karena sesaat sebelum meminta ijin, Pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang.
Saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang ditelusuri untuk masuk ke hutan ini.
Baca Juga: Resep Pangek Ikan
Dengan wajah tidak tertebak, Pak Prabu mengatakan, "gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne alas le (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal di dalam hutan nak)."
Mereka berangkat menembus jalan setapak. Lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh. Sampai akhirnya mereka tiba di kota B. Di sana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.
Kurang lebih setelah 2 jam mencari ke sana ke mari dan setelah mendapatkannya, mereka langsung cepat kembali.
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore. Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok. Ketika Wahyu sampai di sana, ia membeli beberapa cilok untuk Widya dan dirinya sendiri. Saat itulah, si penjual cilok melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.
Baca Juga: Resep Sambal Goreng Krecek Kacang Tolo
"Masnya pendatang?" kata orang itu.
"Mboten Pak, kulo KKN ten mriki (tidak pak, saya hanya KKN di sini)."
"Tetep ae, wong joboh to (tetap saja, orang luar, kan)," kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN di mana?"
Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.
Baca Juga: RESEP FUYUNGHAI DENGAN TEPUNG
"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D********* (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********)?"
"Nggih Pak (iya pak)."
"Loh, loh, halah dalah, wes yang mene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yang mene, jarang onok sing liwat (sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat)," kata si bapak.
"Mboten pak, kulo bablas mawon (tidak pak, saya lanjut saja)," kata Wahyu.
"Ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)?" Si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
Baca Juga: Resep Kue Kering Coklat Chip
"Nggih Pak," kata Wahyu.
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas **********
"Ngeten mas (begini mas)."
"Engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros (nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutannya, jalan saja ya terus)."
"Ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas (gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)."
Baca Juga: Resep Sayur Asem
"Ojok lali, moco dungo'e sing katah" (jangan lupa doanya yang banyak)."
"Sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe digawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah diurus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih. (yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja. Jika sampai kalian dibikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti di sana, yang penting tidak usah diperdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan)."
Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.
"Kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang tujuan (saya doakan kalian selamat sampai tujuan)."
Tepat ketika langit sudah kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan. Di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja.
Baca Juga: Resep Ayam Geprek Bensu Meleleh
Tidak pernah disangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.
Cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan. Hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak ditemui satupun pengendara lain di sini.
Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum ditemui satupun pengendara yang lewat.
Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian Wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja, motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala doa bisa saja dikabulkan sewaktu-waktu.
Baca Juga: Contoh Soal CPNS – Tes Penalaran Logis
"Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu)," kata Wahyu.
Sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata "goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini sembari mencoba menstarter motor.
Entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum ditemui satupun pengendara yang dimintai pertolongan.
Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian di depan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah kakinya berhenti.
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah, pasti.
Baca Juga: Resep Oat Choco Chippies
"Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku sudah capek dorong motor dari tadi)."
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Yu, krungu ora? Suara mantenan (Yu, dengar tidak? Ada suara hajatan)?"
Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)."
Baca Juga: Resep Tumis Kangkung Sederhana
Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, diiringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan.
Sampai, dilihatnya, terdapat janur kuning melengkung. Di sana, Widya melihatnya sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan. Di sana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.
"Nopo le (ada apa nak)?" suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok (motornya mogok)?"
Baca Juga: Resep Otak- Otak Ikan Tenggiri
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda. Menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya dibetulkan.
Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri. Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang ditabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.
"Aku ra eroh nek onok kampung nang kene (aku tidak tau ada kampung disini)."
Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, di depan penabuh gamelan masih ada ruang. Acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
Baca Juga: Resep Thumbprint Mocha
Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab. Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya, diikuti serombongan orang.
Di hadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung. Kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung. Semua mata, seperti terhipnotis melihatnya.
"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng)," kata Wahyu
Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya. Ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari.
Sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka. Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapannya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua.
Baca Juga: Resep Oseng Bunga Pepaya Tempe
Namun, Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.
Setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa dinaikin lagi, benar saja.
Motor mereka sudah bisa dipakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.
Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya. Itu adalah jajanan yang dihidangkan tadi, membungkusnya dengan koran. Widya menerimanya, mengucap terima kasih lagi, lalu lanjut pergi.
Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikannya terlihat begitu sulit digambarkan.
Baca Juga: Resep Udang Balado
Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak ditemui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.
Namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun. Jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.
Satu yang coba Widya yakini, mungkin mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, desa KKN mereka sudah semakin dekat.
Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.
"Tekan ndi seh? Kok suwe'ne (dari mana sih? kok lama sekali)," kata Ayu,
Baca Juga: Resep Indomie seblak macaroni
"Tekan Kota, belonjo keperluan kene (dari kota belanja keperluan kita)."
Nur membuang muka melihat Widya. Sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu. Sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.
Di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana.
"Wes ta lah, kok kaku ngene seh (sudahlah, kok canggung gini)."
Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah.
Baca Juga: Resep Ayam Rica-Rica
"Awakmu pegel, kan (kamu pasti capek kan)."
Tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah tanpa membuang-buang waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung.
Tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikannya, ia ceritakan semua.
Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingunganlah yang pertama Wahyu lihat.
"Ra onok deso maneh nang kene (tidak ada desa lagi di sini)," kata Bima. Wahyu yang mendengar itu tidak terima.
Baca Juga: Resep Sarden Tongkol
"Eroh tekan ndi awakmu (tahu darimana kamu)?"
"Aku wes sering nang kota (aku sudah sering ke kota)."
"Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong kene (Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini)
"Sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene (sampai sekarang, aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)."
"Ngomong opo, mbujuk (bicara apa, nipu)," kata Wahyu geram.
Baca Juga: Resep Ayam goreng bawang putih
"Mas," kata Nur, "pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wes tau dibahas (Mas, memang gak ada lagi desa di sini, kan sudah pernah dibahas dulu)."
"Koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane (kalian kalau gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)."
Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba ditarik oleh Wahyu.
"Takono ambek Widya nek ra percoyo (tanya sama Widya kalau tidak percaya)."
Widya masih diam lama. Sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.
Baca Juga: Resep Kue Kering Brownies
Sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.
Karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu. Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu.
Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.
Setelah kejadian malam itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar 3 hari lamanya. Kadang, ia masih tidak percaya dengan hal itu. Namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tangannya, rasa mualnya akan kembali membuat Wahyu harus memuntahkan isi perutnya.
Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut, jangan menolak pemberian tuan rumah.
Baca Juga: RESEP FUYUNGHAI DENGAN KOL
Sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun mereka harus tetap mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia.
Seandainya saja, Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka, menolak pemberian mereka.
Mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar berbeda, bisa saja. Justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan bala (bencana) bagi mereka.
Apapun itu, Widya sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung tentang dirinya dan sang penari.
Malam itu, Widya baru selesai melihat prokernya yang dibantu beberapa warga desa. Ketika langit sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa.
Baca Juga: Resep Telur Dadar Campur
Seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap.
Seharusnya yang lain sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat. Namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati, membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan. Seolah rumah itu memanggil namanya.
Wes biasa, batin Widya, memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang lainnya. Namun, tempo hari, mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah, membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah Widya alami.
Hanya saja apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih diam.
Kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk. Dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada di sana, menulis laporan.












Comments (2)
apa yuk
0 0 21-Oct-2019 04:16:52tes tes
0 0 21-Oct-2019 04:17:43adekkk
0 0 21-Oct-2019 04:14:14